mereka membuat suatu organisasi untuk berdakwah lewat beragam genre musik.
JAKARTA – Lapangan Bulungan, Jakarta Selatan, berselimut hitam. Para
pria berbaju gelap memadat di sana. Di depan, sebuah panggung besar
berdiri megah dengan membentangkan poster besar bertuliskan ‘Approach
Deen, Avoid Sins’.Sesekali terdengar teriakan lantang menggemuruhkan asma Allah. ”Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Serentak pula, mereka bersama menegakkan telunjuk dan mengarahkannya ke atas langit.
Tabligh akbar? Maaf, tebakan Anda salah. Karena setelah teriakan lantang itu, kita akan disuguhi lagu-lagu kencang, bahkan bisa dibilang garang. Hari itu, sekitar 14 band berkumpul di Bulungan. Di antara beragam genre musik yang ikut serta, band metal tampak mendominasi. Di sana, Tengkorak, Purgatory, The Roots of Madinah, hingga Qishosh menampilkan aksinya.
Namun, berbeda dengan stigma yang kerap menyertai kelompok itu, mereka justru menyuarakan antitesis. ”Tujuan kami hanya membuat pilihan. Sebuah pilihan yang benar ketika saat ini pilihannya cuma satu, yaitu setan semua,” ucap Ombat atau Mohammad Hariadi Nasution, vokalis band Tengkorak yang berdiri sejak tahun 1993 ini.
Berawal dari acara Urban Garage Festival yang memberikan uang hasil penjualan tiket dan merchandise untuk dana kemanusiaan Palestina itu, Ombat dan teman-teman sepakat mengadakan acara metal yang beda. Sebuah konser musik dengan muatan syiar yang sangat kental di sana.
Awalnya, acara tersebut hanya diikuti beberapa band. Namun, setelah dipublikasikan, band-band berpikiran serupa untuk turut terlibat. ”Satu hal yang saya petik, begitu memasyarakatnya alkohol hingga kami tidak tahu band-band itu di jalur yang sama dengan kami,” ungkap Bonty Umbara, Purgatory.
Cibiran tak urung mereka terima karena dianggap melawan arus. Dunia underground , khususnya metal, memang identik dengan minuman keras, seks bebas, narkoba, hingga penyembahan setan. Bonty tak menyangkal hal tersebut. ”Bohong jika ada yang bilang metal itu jauh dari drugs dan alkohol, tetapi tidak semuanya seperti itu saat ini,” ungkap Bonty yang juga kakak dari Anggi, personel Purgatory.
Anti-kemapanan
Sutradara video klip dan film pendek ini juga sempat bingung melihat pakem metal yang menolak kemapanan dan sistem. Anehnya, mereka justru menciptakan sebuah sistem yang memuja minuman keras, seks bebas, dan. ”Metal yang tadinya militan, saat ini tidak lagi militan karena kecemplung ke dunia hedonis. Kami ingin membuat metal menjadi militan lagi, tapi militan yang benar,” tambah Ombat.
Bagi Bonty, acara ini dibuat bukan sekadar untuk mengubah wajah metal atau dunia underground , tetapi juga mencoba untuk menyadarkan anak-anak muda yang mulai mengenal metal untuk tidak terjerumus ke dunia kelam yang pernah mereka lakoni. ”Kami hanya ingin menyelamatkan masa depan anak-anak ini. Moral bangsa bisa rusak kalau anak mudanya jauh dari agama,” ungkapnya.
Maka, satu-satunya cara untuk menjauhi hal-hal itu adalah dengan kembali ke fitrah, yaitu Islam. ”Bukan kami band-band ini yang melarang, tetapi Islam yang mengharamkan,” tutur Bonty dengan nada tegas.
‘Misi’ itu juga yang menghadirkan ‘salam metal’ yang berbeda. Bukan dua tiga jari seperti dulu, melainkan satu jari. Namun, kata Ombat, ”Salah kalau dibilang komunitas metal satu jari, yang benar salam satu jari. Lha wong yang ikut bukan hanya metal, ada rap, rock, serta grind core .”
Di mata Luthfi, anggota komunitas Punk Muslim, acara seperti inilah yang ia tunggu. Komunitas yang dibentuk oleh almarhum Budi Choiruni alias Buce ini berupaya mengajak anak-anak punk yang sebagian besar Muslim untuk kembali ke Islam.
Selama ini, diakui Luthfi, anggota Punk Muslim sangat sulit menembus hati kawan-kawan lain yang beraliran punk. ”Punk ya punk, Muslim ya Muslim, ngapain dicampur aduk sih ,” ujar Luthfi menirukan ucapan kawannya.
Namun, tak ada kata menyerah untuk melangkah ke jalan kebaikan. Seperti diungkap Tufail Al Ghifari, pentolan The Roots of Madinah, ”Kita semua memiliki visi dan misi yang sama, menggunakan musik sebagai media untuk menyadarkan anak-anak muda.”
Dakwah Jalur Lambat
Band metal yang dekat dengan segala stigmanya membuat gelisah Mohammad Hariadi Nasution alias Ombat, vokalis band Tengkorak yang beraliran grind core . Dia pun sempat menelaah secara mendetail tentang sejarah musik metal yang dekat dengan segala ‘racun dunia’ itu.
Berdasarkan studinya, konsep satanisme ataupun penyembahan setan dalam lirik maupun saat tampil di panggung hanyalah ‘kreativitas’ dari para band-band metal terdahulu.
Lantaran band metal terus berkembang dan makin banyak, sebagian orang pun ‘memelintirnya’ sehingga menganut paham seperti itu. ”Ini sebenarnya penjajahan cara baru yang digunakan zionis dan kaum sekuler untuk menjauhkan anak-anak muda dari agama,”ungkap Ombat.
Setidaknya, ini terbukti ketika mereka membuat konser tersebut, tapi justru menuai caci maki. ”Mereka mencaci maki kami yang berusaha mendekatkan kawan-kawan dengan Islam, padahal mereka sendiri Islam. Ini terbukti kalau mereka lebih mengerti metal daripada agamanya sendiri,” tuturnya.
Akhirnya, setelah dikorelasi dan dipelajari, ia dan kawan-kawan yang tergabung dalam komunitas ‘Salam Satu Jari’ memutuskan tidak lagi mengangkat dua jari, tetapi satu jari. Bagi Ombat sendiri, makna satu jari lebih kepada ketauhidan. ”Salam satu jari intinya kita selaku umat Muslim selalu ingat akan Allah Yang Maha Esa, laaillaha illallah , bahwa kita hanya membela Islam tidak yang lain,” ujarnya.
Untuk Andri S, yang memiliki nama panggung Salameh Hamzah, konser musik yang mereka lakukan bisa dibilang dakwah jalur lambat. ”Cara seperti ini tak bisa langsung mengena, tetapi secara bertahap,” ungkapnya.
Bagi Ombat, hanya dengan cara inilah mereka bisa menyadarkan kaum muda underground dari segala pengaruh buruk. Bila suara pemuka agama tidak lagi didengar, sudah saatnya mereka sendiri yang harus bergerak. ”Sebenarnya ini strategi perang ideologi dan musik menjadi wadah untuk melawan sekaligus bertahan,” pungkasnya.
[republika]
0 komentar:
Posting Komentar